I La Galigo tergurat di atas lembar-lembar lontar dalam bentuk puisi
dengan bahasa Bugis kuno. Mahakarya ini diperkirakan ditulis pada kisaran abad
ke-13 hingga abad ke-15 Masehi. Puisi dalam bentuk sajak bersuku lima yang
menceritakan asal-usul manusia ini juga berfungsi sebagai almanak sehari-hari.
Patut dicatat bahwa naskah I La Galigo adalah karya sastra paling
tebal sedunia, mengalahkan epik legendaris dari India, Mahabharata. Jumlah
larik syair Mahabharata adalah 160.000 larik, sedangkan I La Galigo memiliki
jumlah larik syair lebih dari dua kali lipatnya, yakni lebih kurang sebanyak
360.000 larik. Inilah mahakarya peradaban Bugis yang luar biasa.
Cerita I La Galigo dikembangkan melalui tradisi lisan masyarakat Bugis
dan masih sering dilantunkan dalam pelaksanaan beberapa upacara adat Bugis. Sebagian
rangkaian kisah dalam naskah monumental ini masih tersimpan di Museum I La
Galigo, Makassar, Sulawesi Selatan. I La Galigo dinilai sebagai salah satu
bukti bahwa orang Bugis adalah suku bangsa yang besar dan berperadaban tinggi.
Namun, karya besar ini seolah tidak mendapat perhatian lagi, termasuk sosok
Bissu (pelantun I La Galigo) yang sebenarnya memiliki peran sentral dalam
pelestarian I La Galigo. Bissu seringkali menuai anggapan miring dari
masyarakat hanya karena berjender ganda. Padahal, mereka adalah penjaga setia
tradisi I La Galigo.
Cukupkah kita hanya sekadar membanggakan I La Galigo? Tentu saja
tidak! Aksi nyata untuk melestarikan aset budaya ini jauh lebih penting
daripada hanya membanggakannya semata. I La Galigo sudah kenyang akan sanjungan.
Yang diperlukannya hanyalah perhatian yang serius dan berkelanjutan dari
pihak-pihak terkait. Bentuk dari perhatian itu mungkin dapat dimulai dengan
mengangkat derajat sosok Bissu.
Cerita tentang kebesaran bangsa Bugis seakan-akan hanya menjadi awan
gelap di negeri sendiri, termasuk di tempat asalnya, Sulawesi Selatan. Di
negeri para pelaut itu, I La Galigo hanya mengisi imajinasi di ruang ingatan
orang semata. Hanya sedikit kalangan tertentu yang masih merawat mahakarya ini
dengan sungguh-sungguh. Ironisnya, di luar negeri, I La Galigo justru lebih
dihargai. Pada tahun 2004, misalnya, kisah dalam epik I La Galigo dipentaskan
di berbagai belahan dunia, termasuk di Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan
di negara-negara di Asia.
Baru pada tahun 2011 ini, I La Galigo pulang kampung ke tanah Bugis.
Pada 22-24 April 2011, bertempat di pelataran Benteng Fort Rotterdam, Makassar,
epik I La Galigo dipentaskan. Akan tetapi, pergelaran I La Galigo di Makassar
masih menyisakan kesan miris karena pementasan ini justru disutradarai oleh
seniman Barat, Robert Wilson, dan diadaptasi oleh Rhoda Gruer.
Sebuah kesalahan fatal jika epik seagung I La Galigo malah menjadi
tamu di negeri sendiri. Kesadaran kita baru muncul ketika I La Galigo menjadi
perbincangan media massa di luar negeri. Adalah sesuatu yang sungguh aneh
ketika karya besar bangsa sendiri justru lebih dihargai di mancanegara daripada
di negeri sendiri. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi.
__________
Yusuf Efendi, Redaktur www.MelayuOnline.com &
www.WisataMelayu.com
Sumber Foto: http://www.indonesiakreatif.net
|